Bung Hatta: Pendidikan dan Mencintai dengan Perbuatan (5)

| 20-08-2021   16:16:32 WIB | count view ()

Bung Hatta: Pendidikan dan Mencintai dengan Perbuatan (5)

Pendidikan bukan hal yang asing bagi Bung Hatta. Saat mendirikan partai, Bung Hatta memberi nama partainya dengan nama: Pendidikan Nasional Indonesia. Bagi Bung Hatta, politik adalah mendidik.

Rentang usia yang terpaut dua puluh empat tahun tentu membawa tantangan psikologis bagi Bung Hatta dan Rahmi. Katakanlah, Bung Hatta sudah paruh baya, sedangkan Rahmi masih gadis yang belum menginjak usia puluhan. Ditambah fakta usia Bung Hatta hanya tiga tahun lebih muda dari usia ayah mertua.

Bung Hatta berpendidikan dan ditempa pahit-getir perjuangan memperoleh kemerdekaan. Begitu juga Rahmi. Berpendidikan ELS (sekolah elit Belanda di Indonesia) dan lahir di tengah keluarga pejuang. Barangkali pendidikan dan mental pejuang menjadi jembatan perbedaan usia tersebut.

Kredit penting layak diberikan kepada Bung Karno sebagai comblang. Tentu Bung Karno tidak sembarangan ketika melamar Rahmi untuk Bung Hatta. Sebagai kawan perjuangan dan seorang proklamator, Bung Karno paham bahwa sosok pendamping Bung Hatta akan menjadi istri wakil presiden sebuah negara yang baru merdeka dan masih harus menegakkan revolusi kemerdekaan. Tergambar tantangan di depan mata yang tidak mudah.

Sosok istri yang mendampingi perjuangan sudah pasti adalah sosok yang harus tahan uji, sabar, dan mendukung perjuangan. Bukan sebaliknya, melemahkan perjuangan. Sosok Rahmi, gadis jelita 19 tahun, menurut Bung Karno layak untuk menjalankan peran itu.

Bung Hatta di mata Rahmi adalah sosok yang memiliki cinta sangat mendalam kepada keluarga. “Tetapi rasa cinta itu bukanlah berarti Bung Hatta memanjakan keluarga dengan berlebihan. Mencintai keluarganya berarti mendidik keluarganya. Beliau mengidam-idamkan suatu keluarga yang kuat dan teguh berprinsip, tidak goyah oleh keadaan yang sulit,” ungkap Rahmi.

Mencintai adalah mendidik. Barangkali kalimat ini adalah kuncinya. Meutia, putri pertama Bung Hatta menguatkan perihal ini: “Selalu ada unsur pendidikan yang muncul pada diri Ayah untuk diterapkan dan ditiru. Ayah sudah mengajarkan kepada saya dan adik-adik mengenai pendidikan menjadi orang, kasih sayang, menuntut ilmu, beriman, dan menghargai waktu.”

Pendidikan bukan hal yang asing bagi Bung Hatta. Saat mendirikan partai, Bung Hatta memberi nama partainya dengan Pendidikan Nasional Indonesia. Bagi Bung Hatta, politik adalah mendidik. Politik adalah menyiapkan dan mendidik calon kader pemimpin yang paham akan tugas, tanggung jawab, dan kewajibannya. Sehingga mereka bisa menjadi orang yang berdaulat dan tidak bergantung kepada orang lain.

Mendidik adalah mencintai dengan sebuah misi, bukan hanya memuaskan kehendak jiwa. Mendidik adalah mencintai yang menghendaki orang yang dicintai berkembang, maju, dan berkepribadian. Mendidik adalah mencintai sebagai emosi jiwa dan kehendak pikiran.

Sifat dan karakter Bung Hatta yang serius, tidak gampang tertawa, kaku, dan tidak romantis terbawa pula dalam kehidupan berkeluarga. Lebih tepatnya keromantisan Bung Hatta tidak dalam wujud kata-kata manis, memeluk, mencium, dan memuji berlebihan. “Beliau bukanlah orang yang pandai menunjukkan kecintaannya kepada kami itu dengan cara berlebih-lebihan,” terang Meutia.

Romantis dalam tindakan. Begitu yang ditunjukkan Bung Hatta. Seperti saat akan berkendara, Bung Hatta akan mengecek dulu sisi bagian mobil mana yang akan terkena sinar matahari. Bung Hatta akan memilih duduk di sisi yang terkena matahari supaya Rahmi tidak terkena panas.

“Idealisme seorang laki-laki yang telah menjadi suami dan seorang ayah,” kata A.A. Navis dalam cerpennya Jodoh, “ialah idealisme yang abadi, yaitu bagaimana membahagiakan istri dan anak-anak.” Pesan dalam cerpen ini relevan untuk semua laki-laki, utamanya yang sudah berkeluarga. Laki-laki dilihat dari upaya dan kerja payahnya untuk membahagiakan keluarganya.

Perihal itu, dialog berikut tentu menggambarkan idealisme sekaligus romantisnya Bung Hatta dan Rahmi. Dengan wajah yang manis, Bung Hatta menyerahkan amplop kepada Rahmi. “Ini pensiun Kak Hatta, tolong Yuke cukupkan. Nanti kalau ada yang kurang, katakan pada Kak Hatta, nanti kita carikan jalan keluarnya,” ujar Bung Hatta. Tak kalah manisnya, begini balasan Rahmi: “Terima kasih, Kak Hatta.”

Jika Bung Hatta sering mengutip sajak Rene de Clerq sebagai semangat perjuangan melawan penjajah. Dengan sedikit pengubahan, sajak itu menggambarkan sosok Bung Hatta di hadapan istri dan anak-anaknya: “Hanya ada satu keluarga yang menjadi keluargaku. Ia tumbuh dengan perbuatan, dan itu adalah perbuatanku.”

Sumber: Bung Hatta: Pendidikan dan Mencintai dengan Perbuatan (5) – Jurnaba

Facebook Twitter Google Digg Reddit LinkedIn Pinterest StumbleUpon Email